Minggu, September 06, 2009

Taaruf dan pacaran islami: Mana yang lebih efektif?

Dalam “studi kasus” terhadap seseorang, supaya lebih mengenal dia, manakah yang lebih efektif: [1] perhatikan isi rumahnya, amati lingkungan pergaulannya, kenali latar belakang pendidikannya, telusuri bacaannya, cari keterangan dari saudara dan temannya, dan berdiskusi saat silaturahmi; ataukah [2] menjalin hubungan cinta yang mendalam dengan dia, yang mengandung segala makna kasih sayang, keharmonisan, penghargaan, dan kerinduan, di samping mengandung persiapan-persiapan untuk menempuh masa depan bersama, serta menyelinginya dengan tanda-tanda cinta yang manis dan makruf, seperti tukar-pikiran dan tukar-bantuan?
Nah, pengumpulan data pada cara nomor 1 rupanya menggunakan metode observasi, dokumentasi, dan wawancara saja. Sedangkan pada cara nomor 2, ketiga metode tersebut digunakan pula, tetapi yang diutamakan adalah metode “partisipasi aktif” (interaksi yang mendalam). Dalam studi kasus, manakah yang lebih efektif: cara nomor 1 ataukah cara nomor 2?
Apabila Anda sudah mendalami metodologi penelitian kualitatif, tentulah Anda sudah mengerti dan sangat yakin bahwa cara nomor 2-lah yang lebih efektif untuk lebih mengenal seseorang yang diteliti. (Lihat, misalnya, buku karya Prof. Dr. S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung: Tarsito, 1992), terutama Bab IV, “Metode Pengumpulan Data”.)
Cara nomor 1 (”perhatikan isi rumahnya ….”) tadi itu terdapat dalam model taaruf-pranikah ala Abu al-Ghifari. (Siapa dia, identitasnya tidak jelas.) Ia menguraikannya di bukunya, Pacaran yang Islami Adakah (Bandung: Mujahid Press, 2004), sub-bab III C. Model-model taaruf-pranikah lainnya, yang dikemukakan oleh sejumlah aktivis dakwah yang sepaham dengannya, tampaknya juga hanya menggunakan metode observasi, dokumentasi, dan wawancara saja. Sampai saat ini, saya belum pernah menjumpai model taaruf-pranikah yang menganjurkan penggunaan metode “partisipasi-aktif” (interaksi yang mendalam).
Adapun cara nomor 2 (”menjalin hubungan cinta yang mendalam ….”) dikemukakan oleh Abdul Halim Abu Syuqqah (seorang ulama Ikhwanul Muslimin) dalam bukunya, Kebebasan Wanita, Jilid 5 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 75-77. Metode “partisipasi-aktif” (interaksi yang mendalam) ini tampak jelas pula dalam model percintaan pranikah ala Ibnu Hazm al-Andalusi, seorang ulama besar di Abad Pertengahan. Cara ini tersirat pula dalam model percintaan pranikah ala Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, seorang ulama besar yang tentu tak asing lagi bagi kita. Inilah model-model pacaran islami.
Jadi, untuk lebih mengenal si dia, pacaran islami itu lebih efektif daripada taaruf-pranikah.

0 komentar:

Posting Komentar