Jumat, Maret 19, 2010

Perlukah menolak kedatangan obama??

TIADA disangkal lagi, Barack Obama,  menjadi salah satu figur dunia saat ini. Tentu bukan saja sebagai Presiden negara superpower Amerika Serikat (AS) yang ke-44, tapi juga Obama merupakan sosok yang menarik dalam perpolitikan. Ia relatif baru dalam kancah politik, dari community organizer, state senator, terpilih menjadi senator AS, dan tiba-tiba mampu mengalahkan calon-calon presiden lainnya yang sangat senior, termasuk John McCain, dan sebelumnya sesama calon Partai Demokrat, Hillary Clinton.

Tapi barangkali yang paling istimewa dari semua itu adalah sosok kepribadian Barack Obama itu sendiri, yang bagi saya sangat unik. Ia anak seorang ayah non-Amerika, warga Kenya, dan ibu keturunan Irish, menjadikan sebagai individu yang unik. Individu yang bisa bangga mewakili manusia tanpa batas ras. Bangga sebagai warga kulit hitam, African-American,  meski di AS sendiri masih dikategorikan warga yang  marginalized.

Maka terpilihnya Barack Obama menjadi Presiden AS merupakan simbol ‘empowerment’ untuk mereka yang selama ini dipersepsikan sebagai elemen masyarakat yang lemah, khususnya warga kulit hitam AS. Bahkan terpilihnya beliau ditafsirkan oleh sebagian kalangan sebagai ‘realisasi mimpi’ Dr. Martin Luther, pejuang hak-hak kesamaan sipil AS.

Bagi saya sendiri, keunikan yang dimiliki oleh Barack Obama tidak sama sekali terletak di bentuk warna kulit dan posisinya sebagai Presiden negara terkuat dunia, Amerika Serikat. Melainkan pada berbagai pemikiran dan sikap politiknya dalam kampanye, dan dalam berbagai upaya kebijakan yang ingin diambil setelah menduduki Gedung Putih. Sayangnya memang berbagai kebijakan itu tidak semudah yang dibayangkan oleh khalayak ramai. Sebuah kebijakan perlu melalui ‘pintu-pintu ketat politis’, termasuk Kongres dan Senat, sebelum disahkan oleh Presiden untuk menjadi ‘policy’.

Di antara berbagai pemikiran dan sikap Barack Obama yang unik, antara lain sebagai berikut:

Pertama, salah seorang yang menentang sejak awal penggelindingan perang Iraq oleh Presiden Goerge W. Bush. Ketika itu ia adalah State Senator dari Illinois. Sebagai ahli hukum internasional dari Harvard University,  Obama sadar betul bahwa apa yang dilakukan oleh Presiden Amerika saat itu adalah illegal dan bertentangan dengan norma-norma kesepakatan masyarakat internasional. Oleh karenanya, dia menentang dan bahkan menjadi salah satu tema utama kampanyenya.

Yang paling penting adalah, Obama telah menetapkan penarikan tentara AS dari Iraq dalam beberapa bulan ke depan, dengan melihat kepada situasi di lapangan. Bagi saya, ini juga merupakan bagian dari sikap tangggung jawab yang tidak ingin meninggalkan Iraq begitu saja. Jika ini yang dilakukan maka sudah pasti Amerika akan dicatat oleh sejarah sebagai ‘penjajah’ yang tidak bertanggung jawab.

Hasil sikap politik Barack Obama terhadap Iraq ini jauh lebih baik ketimbang hasil sikap politik pendahulunya dari Republikan. Kekerasan, pembunuhan, dan lain-lain memang masih saja terjadi, namun jauh menurun. 

Kedua, sehari setelah pelantikannya sebagai Presiden, Barack Obama langsung menandatangani sebuah ‘executive order’ untuk menutup fasilitas penjara di Guantanamo. Guantanamo telah menjadi saksi sejarah hitam dalam rangkaian sejarah negara AS dengan berbagai pelanggaran HAM, termasuk torture, yang kenyataannya AS seringkali dilihat sebagai pejuang HAM. Oleh karenanya, dengan tanpa pertimbangan apapun, Barack Obama segera memerintahkan untuk menutup dengan waktu yang jelas.

Walaupun hingga kini perintah penutupan tersebut belum sepenuhnya terealisasi karena berbagai kendala teknis, seperti penempatan ratusan penduduk Guantanamo yang masih menunggu pengadilan dan juga tentunya adanya upaya-upaya dari lawan politiknya untuk menghalanginya. Tapi keberanian dan ketegasan Barack Obama untuk menutup fasilitas itu merupakan langkah positif.

Ketiga, dan mungkin ini yang paling penting untuk disadari, bahwa pada hari kedua di Gedung Putih, Barack Obama langsung melakukan komunikasi dengan kedua pemimpin Israel dan Palestina dalam upaya mencari solusi konflik Timur Tengah. Bahkan upaya itu langsung ditindaklanjuti dengan mengangkat seorang senator sebagai utusan khusus Presiden untuk Timur Tengah.

Bagi saya pribadi, di tengah gelombang perang Iraq dan Afganistan, Barack Obama memberikan perhatian khusus terhadap konflik Timur Tengah, khususnya Israel-Palestina. Tentu sebuah gambaran bahwa Barack sadar sepenuhnya betapa konflik Palestina-Israel adalah “kanker” yang menggerogoti dunia internasional kita sekarang ini. Jika saja konflik ini bisa diselesaikan, sudah pasti akan banyak kekisruhan-kekisruhan dunia yang dapat diselesaikan.

Yang paling unik bagi saya adalah kenyataan bahwa Barack Obama terlihat ‘berani’ dalam memposisikan diri sebagai ‘mediator’ yang tidak memihak. Minimal ini terlihat dalam berbagai pernyataannya yang cenderung tidak selalu ‘menyalahkan’ Palestina, sebagaimana para pendahulunya, sementara di sisi lain melemparkan pernyataan keras kepada Israel. Padahal, kita ketahui, mengeritik Israel bisa dinilai sebagai ‘political suicide’ bagi seorang Presiden AS.

Keempat, sadar akan kritikan selama beberapa tahun terakhir terhadap Amerika dalam HAM, terutama dalam menyikapi penyiksaan terhadap tahanan atau ‘torture’, Barack Obama dengan tegas melarang semua bentuk penyiksaan yang masuk dalam kategori ‘torture’, termasuk water boarding yang pernah dilakukan kepada tahanan teroris Sheikh Khalid Mohammed, perancang (mastermind) serangan terhadap WTC.

Bagi saya pribadi, ini sebuah visi sekaligus komitmen besar. Di saat Amerika merasa dalam keadaan terancam oleh what so called ‘American haters’, Barack justeru tetap sadar akan batasan-batasan hukum. Tidak seperti pendahulunya, yang terkadang atas nama keamanan (security), hukum justru tidak dihiraukan dan bahkan cenderung dilanggar.

Kelima, di bidang ekonomi Barack Obama telah banyak mencoba untuk memodifikasi berbagai aturan yang memihak kepada kaum lemah. Program ‘bailout’-nya ditujukan untuk menyelamatkan para pekerja dari kemungkinan pemutusan kerja (lay off) besar-besaran oleh corporate (perusahaan). Ini tentunya harus dilihat sebagai bagian dari ‘peduli kaum dhu’afa’, yang menjadi bagian dari ‘personal nature’ (tabiat pribadi) Barack Obama yang pernah mengalami kehidupan kaum dhu’afa.

Contoh yang paling jelas adalah beberapa peraturan terakhir yang nampak sangat berpihak kepada pelanggan ‘credit cards’ (kartu kredit), yang biasanya terlilit oleh utang perusahaan kredit yang mematikan. Beberapa peraturan terakhir memaksa perusahaan-perusahaan kartu kredit untuk melakukan modifikasi guna tidak membebani para pelanggangnya.

Barangkali upaya terbesar yang menjadi prioritas utamanya saat ini adalah ‘health care reform’ yang mati-matian ditentang oleh Republikan. Saya sendiri menilai, penentangan itu sesungguhnya bukan dilandasi oleh kepentingan khalayak ramai, tapi kepada upaya pengganjalan kepada program prioritas Barack Obama. Dan sudah tentu tujuan akhir dari upaya penggagalan tersebut adalah menjatuhkan kredibilitas Barack di khalayak ramai. Ujung-ujungnya adalah agar masyarakat Amerika tidak lagi memilih Barack Obama untuk periode kedua tiga tahun ke depan.

Keenam,
bahwa Barack Obama memiliki komitmen demokrasi dengan menjunjung tinggi diversity manusia. Ini yang disadarinya sehingga Barack Obama tidak canggung-canggung melakukan  direct talk dengan berbagai kalangan dunia lain, termasuk dengan dunia Islam. Pesan-pesan yang disampaikan di Kairo, Mesir merupakan representasi kesadaran akan ‘inter-dependensi’ dunia saat ini. Obama sadar bahwa tak satu bangsa atau negara di dunia ini, termasuk negara superpower Amerika, bisa hidup tanpa kerjasama dengan bangsa-bangsa lain.

Sikap dan kebijakan Barack Obama ini, bagi saya pribadi, sangat bertentangan dengan pandangan dan sikap pendahulunya yang melemparkan slogan ‘with us or against us’.

Selain itu, Barack Obama sangat santun dalam mengeritik lawan-lawan politiknya, bahkan terhadap Presiden Iran sekalipun. Barack selama ini tetap memakai bahasa santun dalam mengkritisi sikap Presiden Ahmadinejad yang bersikukuh untuk mengembangkan ‘nuclear power’ di negaranya. Berbeda dengan G.W Bush yang selalu memberikan kritikan dengan ‘uncivilized manner’, termasuk pengistilahan ‘Evil Axes’ (poros syetan), dan lain-lain.

Kunjungan ke Indonesia

Menurut rencana, Presiden Barack Obama akan mengunjungi Indonesia, sebelum ke Australia, pada pertengahan Maret tahun ini. Rencana kunjungan ini, sebagaimana biasanya, akan disikapi dengan sikap yang berbeda-beda oleh masyarakat Indonesia. Tentu, berbeda pandangan adalah sesuatu yang baik. Saya yakin Barack Obama sendiri akan senang dengan adanya perbedaan pandangan di kalangan masyarakat karena itu adalah gambaran kebebasan berfikir dan demokrasi.

Akan tetapi, kalau saja saya yang ditanya, apakah kunjungan Barack Obama ke Indonesia harus mendapat sambutan penghormatan atau penolakan? Maka, dengan tegas dan terbuka akan saya katakan harusnya diterima, layaknya tamu.  Alasannya sangat sederhana. Bahwa kalau Barack Obama saja yang memimpin negara terkuat dunia –dalam berbagai skala kehidupan, dari pendidikan, ekonomi, hingga ke kekuatan militer-- ingin membangun hubungan yang baik dan sejajar dengan dunia lain, kenapa bangsa ini tidak mempergunakan ‘kesempatan’ (momentum) tersebut untuk membangun relasi yang sama dengan Amerika?

Kalaupun ada yang melihat bahwa pemerintahan Amerika saat ini belum melaksanakan secara maksimal seperti yang diharapkan oleh banyak orang di berbagai belahan dunia, seharusnya semua itu harus dilihat dengan pandangan bijak. Bijak dalam arti bahwa sebuah kebijakan politik di negara demokrasi tidak ditentukan oleh pribadi. Barack Obama bukan seorang raja, juga bukan pula seorang diktator, tapi seorang Presiden yang dikelilingi oleh berbagai kepentingan. Dalam menentukan sikap, dia tentu punya pertimbangan politis yang didasarkan kepada kemaslahatan mayoritas dan jangka panjang.

Kalaulah Obama bisa memaksakan kehendak, maka sudah pasti dia akan memaksa Israel untuk menghentikan konstruksi pemukiman di berbagai daerah Palestina. Namun ‘realita’ politisnya mengatakan bahwa apa yang bisa dilakukan saat ini adalah mengingatkan aktivitas illegal Israel di daerah Palestina.

Akhirnya, saya hanya ingin mengatakan, masanya umat ini melakukan introspeksi akan masa-masa lalu, sekaligus membuka mata lebar dan memandang jauh ke depan. Obama, yang menurut catatan penulis masih menghormati keragaman,  serta berusaha imbang dalam menyikapi berbagai konflik di dunia, harus bisa menjadi momen yang baik untuk kepentingan bangsa kita ke depan.

Sudah seharusnya umat Islam di Indonesia menjadi pemain utama. Bukan apa-apa, Obama sadar kehadirannya ke Indonesia karena kita adalah negara muslim terbesar di dunia.  Di situlah letak penting mengapa kita harus menjadi pemain efektif dalam berhubungan dengan Amerika dalam upaya-upaya menyelesaikan berbagai konflik dunia. Umat yang sehat adalah umat yang selalu positif, visioner, optimis, dan ‘solving in nature’.
Saya yakin, umat Islam Indonesia adalah umat Islam yang selalu mengedepankan pandangan positif, dan yang paling penting akan meneropong jauh ke depan perjuangan umat dalam rangka membangun dunia yang lebih bermartabat. Semoga! [New York, 8 Maret 2010/www.hidayatullah.com]

0 komentar:

Posting Komentar