Kesadaraan berjamaah adalah masalah yang sangat penting bagi umat Islam. Tidaklah sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia cintai dirinya sendiri. Pada peristiwa hijrah ke Madinah, salah satu hal yang pertama sekali dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah menghubungkan kaum Anshar dan Muhajirin dalam ikatan tali persaudaraan. Si fulan bersaudara dengan si fulan, keduanya bertanggung jawab untuk memastikan kebutuhan hidup saudaranya terpenuhi. Aktifis dakwah pun dibiasakan untuk saling menyapa dengan sebutan “akhi” dan “ukhti” untuk mengingatkan bahwa mereka semua bersaudara.
Uzlah (menyendiri) tidak pernah jadi opsi utama bagi Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Rasulullah saw. hanya sering menyendiri ke Gua Hira menjelang turunnya wahyu pertama. Justru wahyu-wahyu awal itulah yang kemudian memberi instruksi tegas kepada beliau untuk menyingsingkan lengan baju dan terjun ke masyarakat untuk berdakwah.
Seketika mengucap syahadatain, ketika itulah kita lepas dari kesendirian. Kita tidak lagi sendiri-sendiri. Urusan kita adalah urusan seluruh umat Muslim di dunia, dan urusan mereka adalah urusan kita. Tidak ada individualisme dalam Islam. Kalau kaya, harus ingat pada yang miskin. Kalau kenyang, harus diingatkan pada yang lapar. Kalau membuat makanan, bagikanlah juga kepada tetangga. Kalau ada yang sakit, jenguklah. Kalau ada yang wafat, shalatkanlah. Kalau tidak ada yang mau menshalatkannya, maka berdosalah seluruh umat.
Itulah sebabnya ketika ada seorang sahabat mangkir dari panggilan jihad, kemudian ia mengakui bahwa sikapnya itu bukan didasari oleh alasan-alasan yang syar’i, maka Rasulullah saw. menetapkan hukuman boikot, yang terbukti sangat ampuh. Orang yang tadinya hidup dalam kehangatan ukhuwwah bersama Rasulullah saw. tiba-tiba saja dilemparkan kembali pada kehidupan jahiliyyah yang mengabaikan urusan orang lain. Orang-orang tidak lagi menyapanya, tidak lagi menjabat erat tangannya, tidak lagi bertanya kabarnya, tidak lagi bertamu ke rumahnya. Tapi hukuman ini lebih berat lagi baginya, karena ia tidak disuruh pergi mengasingkan diri. Ia dibiarkan tinggal di rumahnya dan ‘menonton’ bagaimana para sahabat berinteraksi setiap harinya. Kehangatan ukhuwwah itu hanya untuk dilihat olehnya, namun tidak untuk dirasakannya sendiri. Ia benar-benar dibuat sendiri.
Hukuman itu sangat efektif bagi orang yang sudah mengecap lezatnya ukhuwwah. Bagi yang sudah tahu nikmatnya berjamaah, tentu tak mau hidup sendiri lagi. Betapa ganjilnya orang yang memiliki kesempatan untuk membina ukhuwwah, namun ia memutuskan untuk mencabik-cabiknya dan hidup sendiri selamanya.
Yang seperti ini bukannya tidak ada, bahkan ia ada di tengah-tengah umat Islam sendiri. Sementara dakwah Rasulullah saw. mengeluarkan orang dari kesendiriannya menuju amal jama’i, sebagian pengikutnya justru percaya sebaliknya.
Kesendirian (atau lebih tepatnya penyendirian) adalah salah satu ciri khas dakwahnya aliran-aliran sesat. Untuk ‘mengaji’ harus sembunyi-sembunyi, meskipun keadaan memungkinkannya untuk berdakwah secara terbuka. Orang lain tak boleh tahu, bahkan orang tua sendiri. Kalau orang tua tidak mendukung, maka kafirlah mereka. Harta orang tua adalah hartanya sendiri, dan kita tak ada kepentingan atasnya. Karena itu, boleh diambil saja demi kepentingan dakwah. Dunia mau hancur, moralitas umat rusak berantakan, terserah. Itu urusan masing-masing!
Lain lagi kesendiriannya orang-orang nyeleneh. Mereka senantiasa merasa dirinya single fighter; tidak punya ikatan dengan para pendahulunya. Sejarah bagi mereka hanyalah arkeologi, bukan hikmah; kerjanya mencari makam raja-raja dan peninggalan peradaban yang sudah punah. Mereka tidak tertarik pada pengalaman orang-orang di masa lampau dan peninggalan pemikirannya. Ramai orang berdebat tentang hal-hal yang sudah dibicarakan sejak dahulu, seolah-olah bangunan pemikiran umat harus dileburkan hingga ke pokok pondasinya. Belum lama ini, mahasiswa sosiologi IAIN Sunan Ampel, Surabaya, mengadakan sebuah seminar sebagai tugas kuliahnya. Seminar itu pada intinya mendukung homoseksualitas, lengkap dengan pendapat para pelakunya dengan sharing pengalamannya yang cukup vulgar. Hebohlah dosen-dosen mereka menyatakan dukungannya; hadits ini dhaif, penafsiran ayat Al-Qur’an yang ini belum jelas, kaidah yang itu masih diperdebatkan dan seterusnya. Ulamakah yang lalai mewariskan ilmu, ataukah anak-anak muda ini yang tidak merasa diwarisi?
Di kalangan aktifis dakwah sendiri pun ternyata ada fenomena kesendirian ini. Merekalah orang-orang yang menutup mata terhadap adanya perbedaan pendapat diantara ulama dan kemungkinan terjadinya perbedaan tersebut. Al-Ghazali mengutip hadits dhaif, tiba-tiba saja semua pemikirannya nampak seolah tak berharga. Istri dan anak seorang ulama tak berjilbab, seolah-olah terlupakanlah semua jasanya. Ulama yang berjuang melalui demokrasi sekonyong-konyong dituduh sebagai penyembah thaghut dan sistem kufur. Semua dosa bagaikan syirik yang bisa menghapus seluruh amal baik, sedangkan perdebatan dalam masalah-masalah tertentu malah diabaikan sama sekali.
Merekalah yang berjalan sendiri-sendiri. Saudaranya ada dimana-mana, tapi ia tak merasa bersaudara dengan mereka. Mau saling menjenguk rasanya berat, karena beda harakah. Mau bertanya kabar tapi enggan, karena ia adalah anggota partai politik. Mau bicara baik tentang si fulan tapi ragu-ragu, karena walaupun si fulan orang baik, tapi istrinya tak berjilbab.
Sudah di surga, tapi minta ke neraka. Ditawari ukhuwwah, tapi rindu kehidupan jahiliyyah.
Kamis, Desember 24, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar