Belum pernah Orientalis mengatakan, Al-Quran merupakan perangkap Quraisy. Tapi “murid-muridnya” di Indonesia sudah berani mengatakannya
Hidayatullah.com—Hermeneutika sangat berbahaya bagi akidah umat Islam. Hermeneutika ini muncul dan hadir sebagai virus ketika paham liberalisme di Indonesia mulai disosialisasikan oleh beberapa alumnus McGill University di kalangan IAIN.
Mereka secara sengaja, melalui berbagai upaya yang dilakukan secara ilmiah, sangat ingin menyeret umat Islam untuk memahami Al-Quran dengan konsep dan metodologi interpretasi teks yang telah digunakan Barat untuk memahami Bibel.
Demikian disampaikan peneliti dari Institute for the Study of Islamic Thought & Civilization (INSISTS) Jakarta, Dr. Adian Husaini, hari Ahad (17/1), pada “Workshop Tafsir dan Hermeneutika” selama satu hari penuh.
Acara yang bertempat di Masjid Abu Bakar Al-Shidiq Ponpes Husnyain, Jl. Lapan Pekayon No. 25 Jakarta Timur, ini juga menghadirkan nara sumber ahli INSISTS lainnya, yakni Nirwan Syafrin, MA, Henri Shalahudin, MA, dan Fahmi Salim, MA.
“Liberalisme berkembang pesat di Indonesia sejak kehadiran kafilah yang telah menyelesaikan studinya di McGill University dengan embel-embel gelar dan pengakuan ahli Islam dari Barat. Mereka inilah yang telah mengubah orientasi dan kurikulum IAIN di Indonesia,” jelasnya.
Perubahan yang mereka lakukan bukan sekedar perubahan biasa, tetapi dekonstruksi dan desakralisasi terhadap Al-Quran. Adian memberikan contoh dengan diberlakukannya mata kuliah hermeneutika sebagai mata kuliah wajib di beberapa kampus UIN atau IAIN.
“Tujuan mata kuliah hermeneutika dan semiotika di Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, adalah agar mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan ilmu hermeneutika dan semiotika terhadap kajian Al-Quran dan Hadits”.
Akibat dari itu, muncullah berbagai tulisan dalam bentuk jurnal, buku, dan makalah yang meragukan Al-Quran, yang justru ditulis oleh umat Islam sendiri. Hal ini tentu bukan masalah sederhana, sebab hermeneutika merupakan kajian tafsir Bible yang dilandasi oleh paham relativisme yang berkembang di Barat, yang sesungguhnya tidak cocok dengan Islam. Tidak saja itu, hermeneutika mengajak umat Islam untuk menyamakan Al-Quran layaknya buku-buku karangan manusia, bahkan meyakini bahwa Al-Quran bukan kalamullah.
Dalam kesempatan itu, Dr. Adian Husaini, membawa sebuah buku yang ditulis oleh pengasong-pengasong liberal Indonesia, seperti Abdul Muksith Ghazali, Luthfie Al Syaukani, dan Ulil Absar Abdallah. Di antara buku yang dijadikan contoh adalah “Metodologi Studi Al-Qur’an” diterbitkan Gramedia pada tahun 2009 dan dilengkapi dengan kata pengantar Prof. Dr. Nasarudin Umar dari Departemen Agama.
Menurutnya, buku tersebut sangat berani dan terang sekali menyerang Islam. “Buku ini (sambil mengangkat buku tersebut), tidak saja berbalik 180 derajat dari kebenaran Islam, tapi berbalik 1000 derajat, bahkan lebih besar lagi,” tegasnya.
Keberhasilan Orientalis
Sementara Nirwan Syafrin, dalam paparannya menjelaskan, hermeneutika telah berhasil memecah belah kaum intelektual Muslim Indonesia. Baginya demam hermeneutika yang melanda intelektual muda Muslim di Indonesia dan menyulut perdebatan dan perselisihan di kalangan internal umat, merupakan satu keberhasilan “politik adu domba” kaum Orientalis yang merupakan produk kekuasaan Barat yang liberal.
“Sekarang Orientalis tinggal melihat aksi-aksi para muridnya yang pernah dididiknya terdahulu. Bahkan murid-murid Orientalis ini jauh lebih vulgar daripada Orientalis sendiri. Saya belum menemukan Orientalis yang mengatakan atau menulis bahwa Al-Quran merupakan perangkap Quraisy . Tapi kaum liberal di Indonesia dengan tanpa dosa mereka berani menuliskan dan mensosialisasikan pemikiran tersebut,” ungkapnya.
Dengan hermeneutika maka tujuan ideal sekularisme dapat terwujud. Karena umat telah bergeser dari meyakini Al-Quran sebagai kalam Allah, menjadi sebuah tulisan yang tak bernilai, kecuali seperti buku-buku pada umumnya. Selain itu secara konsep sekularisme tidak saja menghendaki pemisahan agama dari negara, tetapi mencabut manusia dari fitrah kehambaannya dengan meninggalkan Islam sebagai jalan hidup.
“Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hermeneutika menjadi program strategis jangka panjang pencapaian tujuan-tujuan liberalisme di Indonesia. Oleh karena itu kita sebagai Muslim tidak saja perlu menghafal Al-Quran, tetapi juga memahami dan menjalankannya secara benar, sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan sahabat serta para ulama yang tsiqah. Kita sama sekali tidak memerlukan hermeneutika untuk memahami Al-Quran ataupun untuk menjawab tantangan zaman,” terang Adian beberapa saat sebelum mengakhiri presentasinya.
Acara ini dihadiri oleh mahasiswa, aktivis dakwah, dan pengurus pesantren se-Jabodetabek, dibuka langsung oleh Pimpinan Pesantren Husnayain, KH. Cholil Ridwan yang juga menjabat sebagai Ketua MUI Pusat.
Dalam sambutannya Kiai Cholil menyatakan bahwa Umat Islam harus bersama-sama membendung wabah atau virus Sepilis yang menggerogoti akidah umat Islam, khususnya generasi muda kita. [mam/www.hidayatullah.com]
Selasa, Januari 19, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar